A.
HISTORIS PERKEMBANGAN BAHASA
1.
Masa Romawi Kuno dan Abad
Pertengahan
Sebelum kekaisaran romawi
berkembang, bahasa Romawi mempelajari bahasa Yunani sebagai bahasa kedua.
Caranya dengan guru pribadi atau tutor yang
berkebangsaan Yunani. Kadang-kadang juga dengan cara memelihara budak belian
atau pelayan yang berbahasa Yunani dalam rumah tangganya.[1][1]
Sejarah pengajaran bahasa dimulai
dengan model “private”, karna pada masa lalu hanya orang-orang terkemuka dan
para bangsawan saja yang mampu belajar bahasa kedua. Pada permulaan masa
inperium Romawi, peradaban Yunani kuno masih sangat dominan. Maka dalam rangka
menguasai ilmu dan peradaban Yunani kuno itu, para penguasa Romawi merasa perlu
mempelajari bahasa Yunani. Metode yang digunakan adalah “menghafalkan
ungkapan-ungkapan dalam bahasa kedua {Yunani} dan membandingkannya dengan
ungkapan-ungkapan dalam bahasa ibu (Latin)”. Seiring dengan menguatnya
kekuasaan Romawi, maka bahasa mereka (bahasa latin) menjadi bahasa yang paling
dominan, karena digunakan sebagai bahaasa agama, ilmu, satra, dan politik.[2][2]
2. Masa Renaissance
Adalah menarik untuk dicatat bahwa
keluhan-keluhan tentang betapa jeleknya metode mengajar bahasa Latin terdengar
setelah ditemukannya mesin cetak. Dengan ditemukannnya mesin cetak,
diterbitkanlah karya-karya klasik dalam bahasa Yunani dan Latin yang kemudian
disebarkan diseluruh Eropa. Karya-karya klasik dalam bahasa Latin ini ditulis
dalam bahasa Latin yang berabad-abad lebih tua dari bahasa Latin yang digunakan
masyarakat akademis di Eropa pada masa
itu. Namun demikian, bahasa Latin klasik inilah yang dianggap sebagai
standard bahasa yang asli dan benar
serta harus dijadikan dasar penulisan tata dasar bahasa Latin dan pengajaran
bahasa Latin.[3][3]
Lahirnya alat percetakan pada abad
15 M membawa perubahan besar pada pengajaran bahasa. Di Eropa pada waktu itu, bahasa latin menjadi
bahasa sekolah atau bahasa ilmu. Bahasa latin diajarkan di sekolah-sekolah, dan
buku-buku berbahasa latin beredar secara luas di tengah masyarakat. Pada waktu
itu, ada upaya dari para ahli filsafat bahasa untuk menerapkan kaidah-kaidah
gramatika, yang diambil dari bahasa tulis Latin kuno, pada bahasa lisan. Maka
pengajaran bahasa pada waktu itu berputar pada menghafalkan kaidah-kaidah
bahasa dan penerapannya secara ketat dalam ujaran-ujaran.[4][4]
3.
Abad ke tujuh belas dan ke delapan
belas
Pada abad 17 M, seorang pendidik
dari cheko, Jhon Amos Comenius, dalam bukunya “membuka khazanah bahasa yang terbit
pada tahun 1630, mengemukakan pandangan yang menghebohkan dengan pernyataannya
bahwa metode pengajaran bahasa yang selama ini dipakai tidak berguna. Dalam
pandangannya, menguasai kaidah dan
menghafalkan kosa kata lepas adalah sia-sia, dan bahwa upaya menundukkan kaidah
bahasa kepada prinsip-prinsip logika adalah bertentangan dengan tabiat bahasa
yang sepontan. Comenius menyarankan cara belajar bahasa melalui gerakan dan
aktifitas yang langsung menyertai ungkapan bahasa, atau melalui gambar-gambar
yang konkrit, tanpa terlalu dibebani dengan penguasaan kaidah-kaidah. Pandangan
Comenius ini tidak banyak menarik perhatian para pengajar pada waktu itu,
tetapi mendapat dukungan dari beberapa pendidik dan filosif inggris seperti
Jhon Locke.
Pikiran-pikiran kominius juga
diikuti oleh Basedow yang kemudian dipengaruhi oleh Reussiau dengan “nature
education”nya. Basedow dapat tantangan
keras dari para pendidik pada waktu itu karena pendapatnya sangat membahayakan
kedudukan karya-karya klasik dalam pendidikan.
Sampai perempatan terakhir abad
ke-18, kegiatan-kegiatan belajar dalam pembelajaran bahasa kebanyakan terdiri
dari kegiatan menterjemahkan dari bahasa ke-2 ke dalam bahasa ibu. Kelaziman
ini kemudian berubah secara besar-besaran karena pengaruh meidinger yang dalam
bukunya Praktische frinzosische Grammatik (1783) mengajarkan terjemahan ke
dalam bahasa ke-2 dengan menggunakan aturan-aturan gramatika. Pada akhir abad
ini pelajaran tata bahasa latin telah menjadi tujuan tersendiri. Bahsa latin
tidak lagi menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah dan pengajaran dan
penggunaan kaidah tata bahasa latin diformilkan menjadi semacam latihan
intelektual (intellectual exercise). Beberapa bahasa modern yang mulai
diajarkan di beberapa sekolah pada waktu itu tidak banyak perbedaannya dengan
cara mengajar bahasa latin dengan alasan-alasan yang sama, yaitu merupakan
“mental disiplin”.
4.
Abad Ke Sembilan Belas
Pada awal abad 19 M, muncul
pandangan yang menguatkan kembali perlunya penguasaan kaidah-kaidah bahasa dan
kosa kata dalam pengajaran bahasa. Pelopornya adalah seorang pendidik dari
Jerman Karl Ploetz, yang juga menyarankan pemilihan teks-teks tertentu untuk diterjemahkan ke dan dari bahasa
pertama. Metode, yang kemudian dikenal dengan “metode gramatika terjemah” ini,
tersebar luas pemakaiannya di Eropa
barat pada awal abad 19.
Kemudian pada pertengahan abad 19
itu pula, muncul metode baru yang dipelopori oleh Francois Guin dari Perancis.
Metode yang kemudian dikenal dengan “metode langsung” yaitu reaksi kuat
terhadap metode tata bahasa dan terjemah, namun orang-orang telah lebih dahulu
menggunakannya dalam mengajarkan bahasa asing. Metode langsung berasumsi bahwa
belajar bahasa asing sama dengan belajar bahasa ibu, yakni penggunaan bahasa
secara langsung dan intensif dalam komunikasi (Nababan,1993: 15).[5][5] Metode ini membawa
siswa terjun langsung dan tenggelam dalam aktivitas bahasa asing yang
dipelajarinya sejak detik pertama dalam ruang kelas, dengan bantuan gerakan,
peragaan, dan gambar. Metode ini memberikan penekanan pada penggunaan
bahasa secara fungsional dan
mengesampingkan hafalan kaidah-kaidah gramatika. Metode ini digunakan secara
luas di benua Eropa, Amerika, Timur tengah, dan belahan dunia lainnya sampai perempat
pertama abad 20.
5.
Abad Ke dua Puluh
Baru menjelang abad ke dua puluh
buku-buku yang di tulis atas dasar metode langsung mulai mengikuti pola
tertentu yaitu tetap berpegang teguh pada prinsip tidak menggunakan bahasa
murid sama sekali, latihan-latihan lisan dapat tempat utama pada permulaan
program pengajaran bahasa, baru kemudian di ikuti dengan kegiatan-kegiatan
belajar yang berupa bacaan dan tulis menulis.
Pengajaran bahasa lisan dimulai
dengan study tentang bunyi dengan di bantu notasi fonetik. Bunyi-bunyi ini
disajikan dalam kalimat-kalimat. Untuk mengetahui arti kalimat-kalimat tersebut
digunakan gambar-gambar dan definisi-definisi, kadang-kadang dengan peragaan
dari guru. Struktur bahasa di asimilasikan melalui infrensi dan abstrak. Materi
pelajaran membaca di tulis dengan gaya kontemporer dan sering kali mengenai
kehidupan dan kebudayaan bangsa yang bahasanya di ajarkan.
Perkembangan mtodologi pengajaran
bahasa pasca Metode Langsung yaitu sejak tahun 30-an berkembang sangat cepat,
seiring dengan perkembangannya kajian-kajian dalam bidang linguistic dan
psykologi. Dimulai dengan metode membaca yaitu memperoleh informasi ilmiah
sebanyak-banyaknya dari teks-teks ilmiah. Salah satu kegiatan penting untuk
memperoleh informasi itu adalah membaca, mulai dari membaca nyaring sampai pemahaman
(tahun 30-an),[6][6] berturut-turut lahir pendekatan Aural-Oral dan Metode
Audiolingual yaitu metode mendasarkan diri pada pendekatan structural dalam
pengajaran bahasa. Sebagai implikasinya metode ini menekankan penela’ahan dan
pendeskripsian suatu bahasa yang akan di pelajari dengan memulainya dari system
bunyi (fonologi), kemudian system pembentukan kata (morfologi) dan system
pembentukan kalimat (sintaksis), (tahun 50-an).[7][7] Pendekatan kognitif (tahun 60-an) yaitu segala aktifitas manusia yang dilakukan
dengan sadar bersumber pada otak dan digerakkan oleh kognitif yang meliputi
segala aspek kegiatan, mulai dari menyadari adanya masalah,
mengidentifikasikannya, merumuskan hipotesis, mengumpulkan informasi atau data,
mengambil simpulan, mengevaluasi simpulan, sampai kepada strategi untuk
mencapai tujuan.[8][8] pendekatan
komunikatif (tahun 70-an), pendekatan ini lahir akibat ketidak puasan para
praktisi atau pengajar bahasa atas hasil yang dicapai oleh metode tatabahasa
terjemahan yang hanya mengutamakan penguasaan kaidah tatabahasa,
mengesampingkan kemampuan berkomunikasi sebagai bentuk ahir yang diharapkan
dari belajar bahasa.
Pendekatan komunikatif memiliki ciri sebagai berikut:
a) Acuan
berpijaknya adalah kebutuhan peserta didik dn fungsi bahasa;
b) Tujuan
belajar bahasa adalah membimbing peserta didik agar mampu berkomunikasi dalam
situasi yang sebenarnya;
c) Silabus
pengajaran harus ditata sesuai dengan fungsi pemakaian bahasa;
d) Peranan
tatabahasa dalam pengajaran bahasa tetap diakui;
e) Tujuan
utama adalah komunikasi yang bertujuan;
f) Peran
pengajar sebagai pengelola kelas dan pembimbing peserta didik dalam
berkomunikasi diperluas;
g) Kegiatan
belajar harus didasarkan pada tehnik-teknik kreatif peserta didik sendiri, dan
peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok kecil.[9][9]
Dan beberapa pendekatan mutahir yang terus
dikembangkan di negara-negara yang menjadi kiblat pengajaran bahasa seperti
Amerika dan Inggris.
B. METODE
PENGAJARAN BAHASA
1. Metode grammatika-terjemah(Grammar Translation method)
Metode ini
berkembang pada ahir abad ke sembilan belas dan awal abad kedua puluh.
Keterampilan bahasa yang dipelajari adalah keterampilan membaca dan menulis,
sedangkan keterampilan menyimak dan berbicara tidak mendapat perhatian. Dalam
metode ini guru tidak mengajar bahasa, tetapi ia banyak mengisi jam belajarnya
untuk mengajar bahasa. Pengetahuan tentang kaedah-kaedah bahasa lebih penting
dari kemahiran untuk melakukannya. Kegiatan yang berupa latihan ucapan atau
latihan menggunakan bahasa secara lisan sama sekali tidak ada. Salah satu
keuntungan yang bisa dibanggakan ialah metode ini dapat digolongkan sebagai
suatu mental disiplin. Metode ini cocok untuk kelas yang besar dan tidak memerlukan seorang guru yang
harus memiliki penguasaan bahasa asing secara aktif atau pendidikan husus untuk
mengajarkan bahasa. Metode ini memberi ilustrasi tentang kaidah bahasa,
kata-kata yangh harus ditentukan paradigms yang hjarus dihapal dan latihan-latihan
yang harus dihapalkan.
2. Metode Langsung
(Direct Method)
Metode ini disebut metode langsung
karena selama pelajaran guru langsung menggunakan bahasa asing yang diajarkan,
sedangkan bahasa murid tidak boleh digunakan. Orientasi metode ini adalah
penggunaan bahasa di masyarakat. Penggunaannya di kelas harus seperti penutur
asli. Peserta didik diberi latihan-latihan untuk mengasosiasikan kalimat dengan
artinya melalui demonstrasi, peragaan, gerakan, serta mimik secara langsung.
Dalam proses pembelajaran bahasa kedua, bahasa itu dipelajari melalui asosiasi
langsung antara kata atau frase dengan benda dan perbuatan tanpa bantuan atau
intervensi bahasa pertama. Pembelajar harus dapat menguasai kegiatan menyimak
bahasa tersebut melalui latihan sesering mungkin.
3. Metode Membaca
Metode ini bertujuan untuk agar peserta didik mempunyai kemampuan memahami
teks bacaan yang diperlukan dalam belajar. Mereka harus mampu memahami teks
yang mereka baca dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan teks-teks tersebut.
4. Metode Audio-Lingual
Metode ini mengutamakan pengulangan. Cara ini dilakukan untuk efisiensi
waktu dalam belajar bahasa. Dalam metode ini pembelajaran bahasa difokuskan
pada lafal kata dan pelatihan pola-pola kalimat berulang-ulang secara intensif.
Metode Audio-Lingual adalah hasil perpaduan antara linguistik struktural dengan
psikologi behavioristik yang memandang proses pembelajaran dari sudut
conditioning.
Pembelajar mempelajari bahasa melalui teknik stimulus respon(S.R.)
pembelajar berlatih berbicara tanpa memperhatikan bagaimana bahasa itu
dipadukan. Mereka merespon secara spontan tidak memiliki kesempatan untuk
memikirkan jawaban. Perolehan bahasa kedua dilakukan melalui proses yang sama
dengan perolehan bahasa pertama, yaitu melalui urutan yang alami: menyimak,
berbicara, membaca dan menulis.
5. Metode Reseptif dan Produktif
Metode reseptif mengarah pada proses penerimaan isi bacaan baik yang
tersurat maupun yang tersirat. Metode tersebut sangat cocok dan produktif
diterapkan kepada peserta didik yang dianggap telah cukup banyak menguasai kosa
kata, prasa, maupun kalimat.
6. Metode Komunikatif
Program pembelajaran komunikatif harus mencakup semua keterampilan
berbahasa. Setiap tujuan di organisasikan kedalam pembelajaran. Setiap
pembelajaran dikhususkan ke dalam tujuan-tujuan operasional yang merupakan
produk akhir.
7. Metode Integratif
Integratif berarti menyatukan beberapa aspek ke dalam satu proses.
Misalnya, menyimak diintegrasikan dengan berbicara dan menulis.
8. Metode Tematik
Metode tematik semua komponen materi pembelajaran diintegrasikan kedalam
tema yang sama dalam satu unit pertemuan. Metode tematik sering digunakan pada
pengajaran berbicara dan menulis dengan mengangkat tema budaya yang relevan
dengan usia peserta didik.
9. Metode Kuantum
Metode Kuantum merupakan metode yang bertumpu pada metode freire dan
lozonov. Metode ini mengutamakan percepatan belajar dengan cara keikutsertaan
peserta didik dalam melihat potensi diri dalam memenuhi kondisi penguasaan
diri.
10. Metode Konstuktivis
Dalam metode konstruktivis peserta didk diberi tugas-tugas yang komplek,
sulit, namun realistis. Kemudian mereka diberi bantuan atau bimbingan
secukupnya untuk menyelesaikan tugas. Tugas komplek itu misalnya, berupa
proyek, simulasi, penyelidikan dimasyarakat dan lain-lain.
11. Metode Partisipatori
Metode ini menekankan keterlibatan atau keikutsertaan peserta didik secara
penuh.
12. Metode Kontekstual
Pembelajaran kontekstual adalah konsepsi pembelajaran yang membantu
pengajar menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata serta
pembelajaran yang memotivasi peserta didk agar menghubungkan pengetahuan dan
terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga di masyarakat.
13. Metode Pembelajaran Bahasa Komunitas
Dalam kegiatan pembelajaran dengan metode ini pengajar menyapa peserta
didik, memperkenalkan diri, kemudian meminta pembelajar memperkenalkan diri.
Prinsip pembelajarannya adalah membina hubungan antara pengajar dengan
pembelajar, pembelajar dengan pembelajar.
14. Metode Respons Fisik Total
Dalam metode ini para pengajar harus dapat berperan sebagai pengarah semua
tingkah laku peserta didik. Peserta didik tidak boleh dipaksa untuk
mengungkapkan sesuatu apabila mereka bellum siap. Fase pembelajaran dengan
metode respons fisik total seperti : 1. Pengajar memberi perintah kepada
beberapa peserta didik, kemudian memperagakan secara bersama-sama. 2. Pesrta
didik mendemonstrasikan perintah tanpa pembelajar. 3. Peserta didik belajar
membaca dan menulis perintah. 4. Peserta didik belajar memberikan perintah.
15. Metode Cara Diam
Metode ini mengharuskan pembelajar memanfaatkan sumber-sumber yang ada
dalam diri mereka: srtuktur kognitif, pengalaman, emosi, wawasan atau latar
belakang pengetahuan. Metode ini dilakukan dengan cara pengajar tidak banyak
berbicara atau diam. Setelah memberikan beberapa petunjuk yang diperlukan
pengajar lebih banyak diam dan para peserta didik bekerja.
16. Metode Sugestopedia
Dalam metode ini diasumsikan bahwa relaksasi merupakan unek-unek yang tepat
untuk digunakan. Suasana yang dapat memberi sugesti, seperti alunan musik yang
terdengar sayup-sayup, dekorasi ruangan yang menarik, tempat duduk yang
menyenangkan, sangat berperan penting. Contohnya rancangan proses pembelajaran
: dikelas di tempelkan poster-poster, diantara poster-poster tersebut terdapat
informasi gramatikal.
17. Metode Elektic
Di prancis metode ini dikenal sebagai “methode aktive” rasanya tidak
berlebihan kalau elektic methode diterjemahkan kedalam bahasa indonesia sebagai
metode gado-gado karena metode ini merupakan campuran dari unsur-unsur yang
terdapat dalam direc methode dan grammar translation methode. Metode ini di
ajarkan secara urut sebagai berikut: bercakap-cakap, menulis, memahami atau
konfrehension, dan membaca. Kegiatan belajar kelas lain berupa latihan lisan
atau oral praktik, membaca keras atau reading aloud dan tanya jawab. Juga
latihan menterjemah, pelajaran gramatikal secara deduktif, dan digunakan juga
alat-alat praga/audio visual aits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar